Penulis : AHMAD MUSTHAFA AL-MARAGHI
Kategori : Tafsir Ilmi
Mazhab : Syafii-Asyariyah
Terbit : 1950 M
Jumlah : 30 Juz dalam 10 Jilid
Terbit : Maktabah al-Babi al-Halabi (Kairo), 1369 H./1950 M.
Tafsir al-Maraghi merupakan hasil keuletan dan kerja keras Ahmad Musthafa al-Maraghi selama kurang lebih 10 tahun, dari tahun 1940-1950 M. Penulisan tafsir yang dilakukan oleh Musthafa al-Maraghi ini tidak sampai mengganggu aktifitas pokoknya sebagai seorang dosen, justru kedua tugas tersebut berjalan seiring tanpa saling mengganggu satu sama lain. Menurut sebuah sumber, ketika al-Maraghi menulis tafsirnya, ia hanya membutuhkan waktu istirahat selama empat jam sedangkan 20 jam yang tersisa digunakan untuk mengajar dan menulis. Ketika malam telah bergeser pada paruh terakhir kira-kira Jam 3.00, al-Maraghi memulai aktifitasnya dengan shalat tahajjud dan hajat seraya berdoa memohon petunjuk dari Allah, lalu dilanjutkan dengan menulis tafsir ayat demi ayat. Pekerjaan itu diistirahatkan ketika berangkat kerja. Setelah pulang ia tidak istirahat sebagaimana orang lain pada umumnya, melainkan ia melanjutkan tulisannya yang kadang-kadang sampai jauh malam. Demikianlah aktifitas al-Maraghi selama sepuluh tahun dalam menggoreskan tinta emas, sehingga lahir sebuah tafsir yang menghiasi etalase perpustakaan Islam di berbagai negara muslim dewasa ini.
Penulisan tafsir ini tidak terlepas dari rasa tanggungjawab Al-Maraghi sebagai salah seorang ulama tafsir yang melihat begitu banyak problema yang membutuhkan pemecahan dalam masyarakatnya. Ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi berdasarkan dalil-dalil Qur’ani sebagai alternatif. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila tafsir yang lahir dari tangannya tampil dengan gaya modern, yaitu disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan modern, seperti dituturkan oleh al-Maraghi sendiri dalam pembukaan tafsirnya.
Dari sudut metodologi, al-Maraghi mengembangkan metode baru. Bagi sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufassir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara "uraian global" dan "uraian rincian", sehingga penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu ma’na ijmāli dan ma’na tahlīli.
Kemudian, dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi sebagai sumber dalam menafsirkan ayat-ayat. Namun perlu diketahui, penafsirannya yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah dan susah diterima akal atau tidak didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah. Hal ini diungkapkan oleh beliau sendiri pada muqaddimahnya:
"Maka dari itu kami tidak perlu menghadirkan riwayat-riwayat kecuali riwayat tersebut dapat diterima dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan. Dan, kami tidak melihat di sana hal-hal yang menyimpang dari permasalahan agama yang tidak diperselisihkan lagi oleh para ahli. Dan, menurut kami, yang demikian itu lebih selamat untuk menafsirkan kitabullah serta lebih menarik hati orang-orang yang berkebudayaan ilmiah yang tidak bisa puas kecuali dengan bukti-bukti dan dalil-dalil, serta cahaya pengetahuan yang benar".
Ungkapan al-Maraghi di atas menegaskan bahwa riwayat-riwayat yang dijadikan sebagai penjelas terhadap ayat-ayat Al-Qur'an adalah riwayat yang shahih, dalam arti yang dapat digunakan sebagai hujjah, di samping menggunakan kaidah bahasa Arab, dengan analisis ilmiah yang disokong oleh pengalaman pribadi sebagai insan akademis dan pandangan para cendekiawan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ini berarti dilihat dari sumbernya Al-Maraghi menggunakan naql dan ‘aql secara berimbang dalam menyusun tafsirnya.
Dalam konteks modern rasanya penulisan tafsir dengan melibatkan dua sumber penafsiran tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, sungguh tidak mungkin menyusun tafsir dengan hanya mengandalkan riwayat semata, selain karena jumlah riwayat yang sangat terbatas juga karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang sangat cepat. Sebaliknya, melakukan penafsiran dengan mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan rentan akan penyimpangan-penyimpangan, sehingga tafsir itu justru tidak dapat diterima. Mungkin dengan alasan inilah, sejak memasuki masa muta’akhirin sampai sekarang banyak penafsiran Al-Qur'an yang mengkombinasikan rasio dan riwayat.
Kalau diadakan pembacaan yang lebih cermat, akan diperoleh kesan bahwa dalam menyusun tafsirnya Al-Maraghi tidak terlepas dari pengaruh tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, terutama Tafsir al-Manar. Hal ini wajar karena dua penulis tafsir tersebut, masing-masing Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, merupakan guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada Al-Maraghi di bidang tafsir. Pengaruh itu dapat dilihat pada corak penafsirannya yang bernuansa modern. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa Tafsir al-Maraghi adalah penyempurnaan terhadap Tafsir al-Manar yang sudah ada sebelumnya. Metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Terlepas dari apakah Tafsir Al-Maraghi banyak dipengaruhi oleh tafsir-tafsir yang lain, secara deskriptif sistematika dan langkah-langkah yang digunakan di dalamnya adalah sebagai berikut:
1. Menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan; Pengelompokan ini kelihatannya dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan. Ayat-ayat ini diurut menurut tertib ayat mulai dari surah al-Fātihah sampai surah an-Nās.
2. Penjelasan kosa kata (syarh al-mufradāt); Setelah menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat, al-Maraghi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut ukurannya. Dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca.
3. Pengertian umum ayat (Ma’na al-Ijmāli); Dalam hal ini, al-Maraghi berusaha menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih lanjut. Kelihatannya pengertian secara ringkas yang diberikan oleh al-Maraghi ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, di mana sebelumnya tidak ada mufassir yang melakukan hal serupa.
4. Penjelasan (al-Īdhāh); Pada langkah terakhir ini, al-Maraghi memberikan penjelasan yang luas, termasuk menyebutkan asbāb an-Nuzūl jika ada dan dianggap shahih menurut standar atau kriteria keshahihan riwayat para ulama. Dalam memberikan penjelasan, kelihatannya Al-Maraghi berusaha menghindari uraian yang bertele-tele (al-ithnāb), serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahasa yang sederhana, singkat, padat, serta mudah dipahami dan dicerna oleh akal.
Ali Iyazi menyimpulkan bahwa pembahasan kitab tafsir ini mudah dipahami dan enak dicerna, sesuai dengan kebutuhan masyarakat kelas menengah dalam memahami Al-Qur’an, serta relevan dengan problematika yang muncul pada masa kontemporer.
Tafsir al-Maraghi pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 di Kairo. Pada terbitan yang pertama ini, tafsir al-Maraghi terdiri atas 30 juz atau dengan kata lain sesuai dengan pembagian juz al-Qur'an. Lalu, pada penerbitan yang kedua terdiri dari 10 jilid, di mana setiap jilid berisi 3 juz, dan juga pernah diterbitkan ke dalam 15 Jilid, di mana setiap jilid berisi 2 juz. Yang banyak beredar di Indonesia adalah tafsir al-Maraghi yang diterbitkan dalam 10 jilid.
(Keterangan ini merujuk pada kitab al-Mufassirūn Hayātuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi dan kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm karya al-Maraghi sendiri).
Kategori : Tafsir Ilmi
Mazhab : Syafii-Asyariyah
Terbit : 1950 M
Jumlah : 30 Juz dalam 10 Jilid
Terbit : Maktabah al-Babi al-Halabi (Kairo), 1369 H./1950 M.
Tafsir al-Maraghi merupakan hasil keuletan dan kerja keras Ahmad Musthafa al-Maraghi selama kurang lebih 10 tahun, dari tahun 1940-1950 M. Penulisan tafsir yang dilakukan oleh Musthafa al-Maraghi ini tidak sampai mengganggu aktifitas pokoknya sebagai seorang dosen, justru kedua tugas tersebut berjalan seiring tanpa saling mengganggu satu sama lain. Menurut sebuah sumber, ketika al-Maraghi menulis tafsirnya, ia hanya membutuhkan waktu istirahat selama empat jam sedangkan 20 jam yang tersisa digunakan untuk mengajar dan menulis. Ketika malam telah bergeser pada paruh terakhir kira-kira Jam 3.00, al-Maraghi memulai aktifitasnya dengan shalat tahajjud dan hajat seraya berdoa memohon petunjuk dari Allah, lalu dilanjutkan dengan menulis tafsir ayat demi ayat. Pekerjaan itu diistirahatkan ketika berangkat kerja. Setelah pulang ia tidak istirahat sebagaimana orang lain pada umumnya, melainkan ia melanjutkan tulisannya yang kadang-kadang sampai jauh malam. Demikianlah aktifitas al-Maraghi selama sepuluh tahun dalam menggoreskan tinta emas, sehingga lahir sebuah tafsir yang menghiasi etalase perpustakaan Islam di berbagai negara muslim dewasa ini.
Penulisan tafsir ini tidak terlepas dari rasa tanggungjawab Al-Maraghi sebagai salah seorang ulama tafsir yang melihat begitu banyak problema yang membutuhkan pemecahan dalam masyarakatnya. Ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi berdasarkan dalil-dalil Qur’ani sebagai alternatif. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila tafsir yang lahir dari tangannya tampil dengan gaya modern, yaitu disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan modern, seperti dituturkan oleh al-Maraghi sendiri dalam pembukaan tafsirnya.
Dari sudut metodologi, al-Maraghi mengembangkan metode baru. Bagi sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufassir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara "uraian global" dan "uraian rincian", sehingga penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu ma’na ijmāli dan ma’na tahlīli.
Kemudian, dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi sebagai sumber dalam menafsirkan ayat-ayat. Namun perlu diketahui, penafsirannya yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah dan susah diterima akal atau tidak didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah. Hal ini diungkapkan oleh beliau sendiri pada muqaddimahnya:
"Maka dari itu kami tidak perlu menghadirkan riwayat-riwayat kecuali riwayat tersebut dapat diterima dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan. Dan, kami tidak melihat di sana hal-hal yang menyimpang dari permasalahan agama yang tidak diperselisihkan lagi oleh para ahli. Dan, menurut kami, yang demikian itu lebih selamat untuk menafsirkan kitabullah serta lebih menarik hati orang-orang yang berkebudayaan ilmiah yang tidak bisa puas kecuali dengan bukti-bukti dan dalil-dalil, serta cahaya pengetahuan yang benar".
Ungkapan al-Maraghi di atas menegaskan bahwa riwayat-riwayat yang dijadikan sebagai penjelas terhadap ayat-ayat Al-Qur'an adalah riwayat yang shahih, dalam arti yang dapat digunakan sebagai hujjah, di samping menggunakan kaidah bahasa Arab, dengan analisis ilmiah yang disokong oleh pengalaman pribadi sebagai insan akademis dan pandangan para cendekiawan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ini berarti dilihat dari sumbernya Al-Maraghi menggunakan naql dan ‘aql secara berimbang dalam menyusun tafsirnya.
Dalam konteks modern rasanya penulisan tafsir dengan melibatkan dua sumber penafsiran tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, sungguh tidak mungkin menyusun tafsir dengan hanya mengandalkan riwayat semata, selain karena jumlah riwayat yang sangat terbatas juga karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang sangat cepat. Sebaliknya, melakukan penafsiran dengan mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan rentan akan penyimpangan-penyimpangan, sehingga tafsir itu justru tidak dapat diterima. Mungkin dengan alasan inilah, sejak memasuki masa muta’akhirin sampai sekarang banyak penafsiran Al-Qur'an yang mengkombinasikan rasio dan riwayat.
Kalau diadakan pembacaan yang lebih cermat, akan diperoleh kesan bahwa dalam menyusun tafsirnya Al-Maraghi tidak terlepas dari pengaruh tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, terutama Tafsir al-Manar. Hal ini wajar karena dua penulis tafsir tersebut, masing-masing Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, merupakan guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada Al-Maraghi di bidang tafsir. Pengaruh itu dapat dilihat pada corak penafsirannya yang bernuansa modern. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa Tafsir al-Maraghi adalah penyempurnaan terhadap Tafsir al-Manar yang sudah ada sebelumnya. Metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Terlepas dari apakah Tafsir Al-Maraghi banyak dipengaruhi oleh tafsir-tafsir yang lain, secara deskriptif sistematika dan langkah-langkah yang digunakan di dalamnya adalah sebagai berikut:
1. Menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan; Pengelompokan ini kelihatannya dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan. Ayat-ayat ini diurut menurut tertib ayat mulai dari surah al-Fātihah sampai surah an-Nās.
2. Penjelasan kosa kata (syarh al-mufradāt); Setelah menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat, al-Maraghi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut ukurannya. Dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca.
3. Pengertian umum ayat (Ma’na al-Ijmāli); Dalam hal ini, al-Maraghi berusaha menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih lanjut. Kelihatannya pengertian secara ringkas yang diberikan oleh al-Maraghi ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, di mana sebelumnya tidak ada mufassir yang melakukan hal serupa.
4. Penjelasan (al-Īdhāh); Pada langkah terakhir ini, al-Maraghi memberikan penjelasan yang luas, termasuk menyebutkan asbāb an-Nuzūl jika ada dan dianggap shahih menurut standar atau kriteria keshahihan riwayat para ulama. Dalam memberikan penjelasan, kelihatannya Al-Maraghi berusaha menghindari uraian yang bertele-tele (al-ithnāb), serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahasa yang sederhana, singkat, padat, serta mudah dipahami dan dicerna oleh akal.
Ali Iyazi menyimpulkan bahwa pembahasan kitab tafsir ini mudah dipahami dan enak dicerna, sesuai dengan kebutuhan masyarakat kelas menengah dalam memahami Al-Qur’an, serta relevan dengan problematika yang muncul pada masa kontemporer.
Tafsir al-Maraghi pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 di Kairo. Pada terbitan yang pertama ini, tafsir al-Maraghi terdiri atas 30 juz atau dengan kata lain sesuai dengan pembagian juz al-Qur'an. Lalu, pada penerbitan yang kedua terdiri dari 10 jilid, di mana setiap jilid berisi 3 juz, dan juga pernah diterbitkan ke dalam 15 Jilid, di mana setiap jilid berisi 2 juz. Yang banyak beredar di Indonesia adalah tafsir al-Maraghi yang diterbitkan dalam 10 jilid.
(Keterangan ini merujuk pada kitab al-Mufassirūn Hayātuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi dan kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm karya al-Maraghi sendiri).